BERITA #KONVENSI CALON PRESIDEN PARTAI DEMOKRAT



“Politik Negara Harus Ditangan Orang Lurus”

Ditulis pada 19 November 2013 pukul 21:26 WIB

Banyak yang tidak mengira, ketika Jenderal (Purn.) Endriartono Sutarto akhirnya masuk ke politik praktis dengan bergabung di Partai Nasdem. Lebih terkejut lagi ketika mantan Panglima TNI ini menerima undangan Partai Demokrat untuk mengikuti Konvensi Penjaringan Calon Presiden. Keterkejutan banyak orang wajar saja, mengingat Jenderal yang dikenal bersih dan tegas ini sudah lama tidak tampil di panggung publik, kecuali dalam urusan membela Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketika masih menjabat sebagai Panglima TNI juga sempat menolak pinangan Partai Politik untuk menjadi calon Wakil Presiden, berpasangan dengan beberapa kandidat potensial di waktu itu.

Apa yang melatarbelakangi pemikirannya, sehingga pada akhirnya Sutarto berjibaku dalam pergumulan politik yang sering dihindari oleh kebanyakan orang “bersih”. Kepada Redaksi ETOS, Sutarto menuturkan berbagai hal, mulai dari perjalanan karir di militer hingga ia masuk menjadi peserta Konvensi Partai Demokrat dan pemikirannya tentang berbagai permasalahan bangsa ini. Berikut petikan wawancaranya.

Banyak orang bertanya-tanya, kenapa setelah mengakhiri karir sebagai militer professional yang cemerlang kok tiba-tiba sekarang memasuki wilayah politik. Apa yang mendasari pemikiran Anda?
Saya bisa memahami pertanyaan mereka, karena banyak orang termasuk sahabat dan teman-teman saya dulu mengenal saya sebagai militer professional. Saya mendorong percepatan penarikan fraksi TNI/Polri dari DPR/MPR. Di Periode saya pula, TNI bekerja keras menjaga netralitas dari Politik Praktis. Ketika saya masih menjabat Panglima TNI, ada beberapa Calon Presiden yang menawarkan posisi Calon Wakil Presiden, tetapi saya tidak menerima tawaran itu karena ingin fokus menyelesaikan tugas menata TNI agar TNI berada pada posisi yang tepat dalam sistem demokrasi yang kita anut hingga tuntas. Saya juga akan sangat menyayangkan apabila kala itu saya tergoda ikut mencalonkan diri sebagai Cawapres, walaupun sesuai ketentuan saya harus meninggalkan posisi selaku Panglima TNI dan juga militer aktif, tetapi sebahagian besar prajurit pasti masih akan loyal kepada saya, lalu mereka terdorong untuk ikut menyukseskan saya sebagai Cawapres. Bagi saya, kalau itu terjadi, akan sangat menodai upaya dan kerja keras prajurit TNI dalam memposisikan TNI sebagai militer profesional yang tidak berpolitik praktis. Pendirian inilah barangkali yang membuat banyak orang mengenal saya sebagai orang yang menjaga jarak dari politik praktis.

Sekarang, kenapa ada dalam pusaran kehidupan politik praktis?.
Ceritanya panjang. Dimulai dari kerisauan melihat kondisi bangsa. Diakui bahwa banyak keberhasilan yang telah diraih bangsa ini semenjak reformasi. tetapi harus diakui juga bahwa masih banyak hal yang perlu diperbaiki. Sebagai contoh setelah kita merdeka selama 68 tahun, kita masih meninggalkan lebih dari 30 juta saudara kita yang harus hidup di bawah garis kemiskinan dan lebih dari 60 juta dalam kondisi hampir miskin atau near poor. Korupsi juga masih merajalela, padahal dengan maraknya korupsi itu artinya membiarkan rakyat miskin terus terbelenggu dalam kemiskinannya, demokrasi kita yang masih sekedar formalitas dan belum masuk pada demokrasi substansial, money politic, hukum yang masih belum tertegakkan serta banyak lagi hal yang masih perlu kita perbaiki bahkan harus diubah. Saya punya tekad memperbaikinya!. Dengan sistem yang berlaku sekarang, untuk mengubah, mengharuskan kita memegang jabatan yang punya kewenangan melakukan perubahan. Dan kewenangan tertinggi terletak di tangan seorang Presiden. Untuk itulah lalu saya putuskan untuk mengikuti konvensi.

Saya juga berpendapat, bahwa sesungguhnya sangatlah penting pemegang kekuasaan itu haruslah memiliki jalan pikiran dan hati yang lurus, agar hukum dan keadilan dapat ditegakkan. Karena pada dasarnya semua institusi itu hanyalah alat atau instrumen, yang menentukan adalah jalan pikiran para pengelola instrumen itu. Lembaga Kepresidenan, Kabinet, DPR, lembaga Pengawas seperti BPK, institusi penegak hukum Kejaksaan, Kepolisian, Sistem Peradilan; sampai dengan Tentara Nasional Indonesia; kesemuanya adalah instrumen untuk menjalankan amanat rakyat. Bekerja atau tidaknya instrumen itu, amanah atau tidak, memenuhi harapan rakyat atau tidak, ditentukan oleh jalan pikiran dan kebersihan hati dari pengelola instrumen itu. Di sinilah saya menyadari peran penting dari sistem politik kita dalam menata seluruh instrumen bernegara.

Apakah mendorong perbaikan penyelenggaraan negara harus melalui politik praktis?. Bukankah diperlukan juga penyeimbang dari luar sistem politik?
Benar sekali, mendorong perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara tidak selalu melalui politik praktis. Banyak jalan lain. Bisa melalui LSM, menulis di media, atau melalui kelompok-kelompok penyuara moral. Mereka itu penyeimbang dan pemberi masukan. Tapi perbaikan dan perubahan, pada akhirnya hanya akan efektif kalau dilakukan oleh pemegang otoritas. Jadi tergantung pilihan kita yang mana. Kalau mau sekedar menyuarakan perbaikan, tidak masuk dalam sistem politik bagus-bagus saja dan menjadi orang independen. Tapi kalau mau memastikan gagasan perbaikan dan perubahan itu dijalankan, ya pilihannya adalah masuk ke dalam sistem.

Masuk ke dalam sistem, apakah memang pintunya harus lewat Partai Politik?
Tidak selamanya seperti itu. Bagi rekan-rekan yang ada di birokrasi sipil dan di militer tentu tidak harus melalui partai politik. Tetapi bagi orang-orang diluar itu yang independen, pintu yang tepat ya melalui Partai Politik.

Begini, konstitusi kita sudah mengatur pembagian peran antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Juga ada lembaga pemeriksa seperti Badan Pemeriksa Keuangan. Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi dan DPR sebagai legislatif, pengawas dan pembuat undang-undang, sudah jelas dibentuknya melalui proses politik dan instrumennya adalah Partai Politik. Itulah tata cara politik yang sudah kita sepakati. Dengan Pemilu, rakyat memilih wakil rakyat untuk duduk di DPR, DPRD dan juga DPD. Wakil Rakyat di Legislatif bersama-sama Pimpinan Eksekutif menyusun kebijakan, mengelola sumber daya, dan menyelenggarakan urusan publik. Jadi urutannya memang harus masuk dalam proses politik, dan institusi yang sesuai konstitusi ya melalui partai politik.

Karena itu kita harus berusaha memperbanyak orang-orang yang berintegritas dan memiliki kompetensi sebagai pemangku jabatan publik untuk masuk ke dalam sistem. Dengan sistem demokrasi yang kita miliki sekarang, makin banyak orang baik di dalam sistem, maka suasana penyelenggaraan negara akan semakin sehat. Saya berkeyakinan bahwa politik memiliki tugas mulia untuk mengurus negara. Dan supaya jalannya negara semakin baik, politik negara harus dikendalikan oleh orang-orang yang lurus dan baik.

Bisa diceritakan sampai bisa ikut dalam konvensi partai Demokrat?
Di awal bulan puasa lalu, saya ditilpon oleh pak Jero Wacik selaku Sekertaris Majelis Tinggi Partai Demokrat, yang menyampaikan bahwa Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat mengundang saya ikut dalam Konvensi Partai Demokrat untuk memilih calon Presiden 2014 dari partai Demokrat. Setelah melalui berbagai pertimbangan dan berdiskusi dengan kawan-kawan dan banyak pihak, termasuk dengan Ketua Umum Partai NasDem akhirnya saya putuskan untuk ikut dalam konvensi tersebut. Saya berharap, agar konvensi ini tidak sekedar menjadi ajang kontestasi politik, melainkan menjadi titik pertemuan dari seluruh niat baik, energi positif, dan kekuatan membangun kebaikan di seluruh penjuru negeri. Dan dengan demikian, hangatnya suasana kompetisi akan menjadi warna bagi tumbuhnya perbaikan-perbaikan yang memberi harapan bagi seluruh bangsa, seluruh rakyat Indonesia.

Konvensi Partai Demokrat sudah menggelinding. Apa yang akan Anda lakukan untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas Anda?
Saya menyadari sepenuhnya, mungkin saya salah satu peserta konvensi dengan modal pas-pasan. Saya bukan pengusaha yang memiliki uang banyak, saya tidak memiliki media, dan saya bukan tokoh politik atau pejabat negara yang dapat terus tampil di depan publik. Sejak tidak lagi menjabat Panglima TNI, saya sudah menjadi warga negara biasa. Karena itu pasti perjalanan mengikuti Konvensi ini bukan perkara ringan.

Karena itu saya akan jalani secara maksimal sesuai dengan kemampuan saya. Saya sudah kemukakan pada saat deklarasi beberapa waktu yang lalu, kalau proses konvensi ini transparan dan obyektif, pasti yang akan terpilih adalah calon Presiden terbaik bagi Republik Indonesia, sekaligus proses demokrasi terbaik. Jadi, keikutsertaan saya semoga dapat mewarnai proses politik yang sehat. Untuk itu, tentu saya harus optimis memenangkannya dan harus melakukan segala usaha yang sesuai aturan secara optimal. Saya akan melanjutkan keliling Nusantara untuk memperkenalkan diri dan menyebarluaskan gagasan. Saya akan hadir di berbagai forum publik baik melalui media maupun bertatap muka dengan masyarakat. Hasilnya kita serahkan pada mekanisme yang berlaku.

Tidak takut dicurangi, atau dijadikan sekedar pendongkrak citra Partai Demokrat?
Bahwa konvensi ditujukan untuk mendongkrak citra dan elektabilitas Partai Demokrat tentu sesuatu yang sah-sah saja. Saya masih berkeyakinan bahwa konvensi di luar itu juga memiliki tujuan luhur untuk kepentingan yang lebih besar dan akan dilakukan secara objektif dan kredibel. Dasar pemikiran saya sbb:

Pertama. Demokrat tentu akan membayar sangat mahal kalau ternyata konvensi itu hanya digunakan sebagai alat politik kepentingan subyektif Partai Demokrat. Kalau hal ini terjadi, bukan hanya reputasinya yang hancur, tetapi Partai Demokrat juga akan semakin kehilangan kepercayaan rakyat yang akhir-akhir ini harus diakui memang sedang menurun.

Kedua. Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat SBY, saya kenal secara dekat puluhan tahun lamanya, tentu beliau tidak ingin reputasinya hancur di akhir periode jabatannya sebagai Presiden, hanya karena menggelar konvensi yang tidak objektif dan kredibel.

Ketiga. Saya juga percaya bahwa tokoh-tokoh independen yang duduk dalam komite konvensi yang sudah kita kenal integritas dan kapabelitasnya, akan mengawal pelaksanaan konvensi dengan baik, karena mereka juga mempertaruhkan reputasinya masing-masing.

Oleh karena itu, Saya percaya sikap yang obyektif dan profesional-lah yang mewarnai konvensi ini. Dengan demikian, konvensi ini tidak saja menghasilkan pemenang terbaik, melainkan juga meninggalkan warisan sejarah berupa proses politik terbaik bagi kemajuan kehidupan demokrasi dan politik kenegaraan kita ke depan.

Kalau kalah atau tidak terpilih, apakah Anda masih berminat untuk berpolitik praktis?.
Konvensi baru saja dimulai, jangan dulu memikirkan kalah. Benar dalam bertanding kita harus siap menang atau kalah, tetapi fokus saya saat ini adalah memenangi konvensi. Soal hasil akhirnya dan bagaimana menyikapinya, masih banyak waktu untuk berfikir.

Siapa-siapa pendukung Anda di Tim Sukses? Dan apakah ada pengusaha yang menjadi penyandang dana?
Sudah saya kemukakan, modal saya pas-pasan. Teman-teman dan sahabat dekat yang mendukung perjuangan saya banyak dari kalangan rekan-rekan eks militer dan aktivis pergerakan anti korupsi, anak-anak muda yang memiliki idealisme. Saya juga di dukung sejumlah professional. Ada pengusaha yang menopang kebutuhan keuangan, tetapi tidak banyak. Dukungan keuangan lebih dalam bentuk saweran sesuai dengan keikhlasan masing-masing. Saya punya keyakinan politik tidak sekedar mengandalkan uang, tetapi gagasan juga sama pentingnya. Saya berharap sambil berjalannya waktu, akan banyak rekan-rekan simpatisan yang mendukung, karena kesamaan cita-cita dan gagasan.

Apa yang menjadi sumber motivasi Anda untuk terus berjuang, meskipun modal pas-pasan?
Keyakinan yang tak boleh goyah yaitu politik negara harus ditangan orang-orang yang lurus. Dan sepanjang pemegang kekuasaan adalah orang-orang lurus, saya percaya bahwa Republik ini akan diurus dengan benar dalam menuju cita-cita nasionalnya.

Menjaga pertumbuhan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan di atas 6 %. Sebagai peserta konvensi calon Presiden, bagimana Bapak melihat fenomena ini? Benarkah pertumbuhan ekonomi tersebut telah mensejahterakan rakyat kita?
Kita harus berani jujur mengakui bahwa keberhasilan pertumbuhan ekonomi kita cukup tinggi walaupun secara kualitas belum cukup. Pertumbuhan secara makro yang relatif tinggi, dengan inflasi dan nilai tukar yang stabil, akan menyebabkan ”membesarnya kue ekonomi nasional secara riil”, Membesarnya kue ini akan sangat bermakna kalau dapat terbagi secara merata. Sayangnya kue yang membesar tersebut baru dapat dinikmati oleh sebagian kecil saja rakyat kita. Sebagian terbesar rakyat masih harus berjuang untuk dapat hidup secara wajar. Ketimpangan pendapatan kita cenderung makin membesar dari tahun ketahun. Pada 2012 ini gini ratio kita bertengger diposisi 0,41 (Data BPS 2012). Dari 0,31 ditahun 2000. Sementara itu, angka kemiskinan kenyataannya masih relatif tinggi yaitu 11,96% (Laporan BPS 2012). Prosentase tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat sekitar 30 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan dan 60 juta orang yang hampir miskin.

Kecenderungan perkembangan perekonomian, dengan berbagai permasalahan sebagaimana saya sampaikan tadi, memerlukan perubahan paradigma dalam pengelolaannya. Pertumbuhan ekonomi sungguh penting, karena pertumbuhan ekonomi merupakan prasyarat bagi terciptanya kesejahteraan yang lebih baik. Tetapi pertumbuhan yang tinggi saja tentu tidak cukup.

Kita memerlukan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas agar pertumbuhan dapat dinikmati oleh seluruh rakyat kita. Pertumbuhan berkualitas dicirikan, antara lain, oleh dukungan sektor dengan kontribusi nilai tambah tinggi sekaligus keterlibatan tenaga kerja yang dominan. Dengan ciri pertumbuhan seperti ini, maka nilai tambah yang tercipta akan mengalir dalam besaran yang signifikan kepada para pekerja, kepada rakyat kita, dan menjadi dasar bagi terciptanya kehidupan yang sejahtera.

Bagaimana anda melihat kondisi kelompok yang sesungguhnya memberi kontribusi besar bagi perekonomian nasional tetapi realitanya sebahagian terbesar dari mereka masih hidup dibawah garis kemiskinan?
Kalau yang anda maksudkan adalah kelompok tani, buruh dan nelayan, anda benar. Kita harus prihatin dengan kondisi kehidupan ketiga kelompok masyarakat ini. Kita ini kan masih masuk dalam kelompok negara agraris. Tapi anehnya kita harus mengimpor dalam jumlah besar berbagai produk pertanian, termasuk beras yang merupakan bahan pokok makanan bangsa kita. Keadaan seperti ini sungguh sesuatu yang ironis. Devisa kita banyak terserap untuk impor bahan pangan, sementara petani kita harus hidup dengan kemiskinan. Mengapa kita tidak segera fokus membenahi pertanian kita. Bibit unggul dan pupuk yang dapat dijangkau petani. Tanah menganggur yang selama terbengkalai gunakan untuk pertanian, benahi irigasi, hindari alih fungsi lahan dan bangun infra struktur pedesaan agar biaya produksi dan angkutan menjadi murah. Kalau itu yang kita lakukan maka pendapatan petani meningkat, produksi meningkat, kita menyelamatkan sekian belas juta petani miskin dan kita juga jadi memiliki ketahanan pangan.

Lalu bagaimana dengan buruh kita ?
Kita harus berani untuk segera meninggalkan kebijakan “buruh murah”. Biaya tinggi di bidang industri harus kita pangkas habis. Benahi Peraturan agar menjadi pasti, jelas dan sederhana. Perijinan yang berbelit-belit pangkas, biaya siluman, pajak ilegal hilangkan, lalu kita benahi infra struktur kita seperti supply listrik yang memadai, pelabuhan yang efisien. Dengan pembenahan seperti itu, saya percaya peningkatan upah buruh tidak lagi menjadi beban bagi investor. Di sisi lain, yang juga tidak kalah penting, untuk mendukung langkah ini kita harus menyiapkan tenaga kerja yang terampil dan handal baik melalui lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan. Investasi dalam diri pekerja dan calon pekerja merupakan investasi yang terbaik, untuk memastikan bahwa setiap individu pekerja memiliki keterampilan dan produktivitas yang memungkinkan mereka memperoleh imbalan memadai bagi karya-karyanya di tempat kerja. Kalau ini dilakukan, buruh tidak lagi perlu demonstrasi dan mogok untuk menuntut kenaikan upah. Iklim investasi menjadi lebih baik. Meningkatnya pendapatan para buruh ini juga berarti kita mengentaskan sekian belas juta lagi masyarakat dari kemiskinan.

Sementara itu bagaimana dengan para nelayan kita. Selama ini kita mengklaim bahwa setiap tahun kekayaan laut kita dicuri nelayan asing senilai lebih-kurang 100 trilyun Rupiah, padahal kita lihat bagaimana kehidupan para nelayan kita yang hidup dengan sangat mengenaskan. Pertanyaannya kalau kita bisa menjaga agar kekayaan laut kita itu tidak dicuri, apakah lalu nilai kekayaan kita yang 100 trilyun itu bisa dinikmati para nelayan kita. Realitanya tidak, karena para nelayan kita tidak memiliki peralatan tangkap ikan yang memadai. Nah mengapa kita tidak memulai dengan memberi para nelayan kita dengan kapal penangkap ikan canggih milik para pencuri ikan yang tertangkap. Hal itu sesungguhnya tidaklah sukar dengan memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukannya melalui Aturan perundangan yang mengakomodasikan hal tersebut. Lalu juga ada program bantuan bagi para nelayan dengan pemberian kemudahan melalui koperasi untuk mendapatkan kapal penangkap ikan canggih untuk diawaki oleh 10 sampai 15 nelayan.

Indonesia dikenal kaya akan sumber energi, baik sumber energi fosil tak terbarukan maupun sumber-sumber energi terbarukan. Namun banyak orang beranggapan bahwa Indonesia tidak memiliki ketahanan energi. Bagaimana pendapat Bapak?
Memang benar, Indonesia memiliki beragam jenis sumber energi, tetapi ironisnya daya beli dan konsumsi energi rakyat demikian mudah terombang-ambing oleh dinamika harga yang belakangan makin spekulatif di pasar internasional. Menurut saya, permasalahan justru bersumber dari kebijakan pengalokasian sumber-sumber energi yang tidak tepat sehingga mengakibatkan keterlambatan pengembangan sumber-sumber energi alternatif dan sumber energi terbarukan. Kebijakan energi nasional saat ini tidak efektif bahkan tidak memihak kepada kepentingan nasional jangka panjang.

Kebijakan energi kita seharusnya belajar dari kebijakan masa lalu kita di bidang minyak bumi. Pada saat produksi minyak bumi kita masih tinggi, dan konsumsi kita masih di bawah produksi, kita mengekspor minyak dalam jumlah besar dengan harga rata-rata sangat murah tanpa pertimbagan strategis dengan wawasan jangka panjang. Lalu saat produksi minyak bumi kita mulai menurun, sementara konsumsi terus meningkat, kita sekarang terpaksa harus mengimpor minyak bumi sekitar 600.000 barrel per hari dengan harga lebih dari 100 US $ per barrel dengan menghabiskan devisa 60 juta US$ sehari. Pemerintah juga harus mensubsidi lebih dari 200 triliun Rupiah setahun untuk penggunaan minyak bumi sebagai sumber energi utama. Sementara itu kita punya deposit batu bara dan gas dalam jumlah yang besar. Batu bara dan gas tersebut kita ekspor sama dengan yang kita lakukan dimasa lalu atas minyak bumi kita dan kita masih terus mengantungkan diri dengan minyak bumi yang mahal dan harus diimpor. Mengapa tidak kita tinggalkan “rezim” minyak bumi. Batu bara dan gas tidak lagi kita ekspor, kita gunakan batu bara dan gas untuk kebutuhan utama energi kita. Devisa bisa kita hemat, pemerintah tidak perlu lagi mengimpor dan mensubsidi BBM. Anggaran untuk subsidi dapat kita alihkan untuk hal yang lebih bermanfaat seperti pembangunan Puskesmas, irigasi, rumah sekolah dan juga infrastruktur, yang kesemua itu dapat mendorong secara langsung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Sumber: Majalah ETOS Edisi 02, November 2013

No comments:

Post a Comment